Tuesday, March 17, 2009

Mendadak ka Garut. Kampung Dukuh

Malam itu ketika sedang nyantai menyantap makan malam di kedai telapak saya diajak ngobrol oleh Big Boss. The Big Boss meminta saya untuk menemani dua orang tamu dari Scotland beserta anaknya yang baru berumur satu tahun mengunjungi sebuah kampung di Garut. Disaat saya menanyakan dimana letak posisi tuh kampung, beliau ini tidak ada yang tahu dimana persisnya kampung tersebut berada. Informasi yang saya terima adalah perjalanan dari Garut ke kampung tersebut adalah sekitar lima jam. Semakin bingung dan penasaranlah saya, kampung apa tuh lima jam dari Garut? Garut-Ciamis saja saja tidak sampai lima jam perjalanannya.


Akhirnya kamis sore tanggal 12 Maret 2009 bersama dengan mobil taft hiline long sasis saya meluncur menuju Garut. Berangkat dari Bogor mungkin sekitar pukul delapan malam. Malam itu perjalanan dari pintu tol Bogor sampai dengan pintu tol Cileunyi cukup sepi dan perjalanan berjalan lancar. Kami tiba disana sekitar pukul 23.30 WIB dan langsung menuju sebuah penginapan di daerah cipanas karena perjalanan menuju kampung tersebut baru akan dilanjutkan paginya setelah bertemu dengan teman-teman dari Garut. Perjalanan ka Garut yang mendadak ini membuat jadwal saya yang rencananya ingin jadi pemulung bersama teman-teman yang ada di Bogor untuk membersihkan sungai ciliwung tidak jadi. Kemaren setelah tiba di Bogor dan mendapat cerita bahwa banyak teman-teman yang bergabung menjadi pemulung (sekitar 80 orang) membuat saya iri dan merasa bersalah karena tidak bisa datang :(


Paginya setelah bertemu dengan teman-teman di Universitas Garut, berdiskusi mengenai tujuan kunjungan kami kepada beberapa dosen yang ada di universitas tersebut dan petugas kehutanan (BP DAS) Garut, kami langsung menuju desa yang ingin kami kunjungi. Berdasarkan informasi dari teman-teman di Garut, memang benar bahwa untuk mencapai desa tersebut dibutuhkan waktu sekitar lima jam dari Garut.


Kampung Dukuh

“Selamat datang di komplek kampung adat DUKUH”. Itulah tulisan yang akan kita baca disebuah plang disaat akan memasuki kampung ini. Plang yang posisinya sudah miring dan banyak ditempel stiker-stiker partai dan para calon legislatif.


Perjalanan menuju kampung ini memang cukup jauh. Sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi karena kondisi jalannya yang banyak tikungan dan naik turun menyisiri bukit hingga tembus ke pantai membuat laju kendaraan tidak bisa cepat. Dari Garut kita menuju ke Kecamatan Pamengpeuk trus lanjut menuju Kecamatan Cikelet. Dari Cikelet menuju kampungnya juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Kondisi jalan yang berbatu-batu dan berlobang membuat perjalanan yang jaraknya kurang lebih 7 km ini membutuhkan waktu sekitar satu jam. Mobil-mobil kecil dan rendah tidak akan bisa masuk ke desa ini.


Ketika saya menginap beberapa hari di Kampung Dukuh, saya melihat kampung ini adalah salah satu kampung kecil yang mencoba mempertahankan adat dan budayanya yang masih tersisa ditengah gencarnya pengaruh kehidupan modern dan kemajuan teknologi. Kampung yang masih asri, damai dan tenang. Bangunan rumah yang semuanya sama yaitu terbuat dari bambu (dinding gedeg), kerangka rumah dari kayu dan atapnya terbuat dari ilalang dan dilapisi ijuk rumbia. Tidak ada penerangan dari listrik dikala malam hari. Kebisingan malam hari hanya karena suara jangkrik dan binatang malam, bukan dari riuhnya sinetron-sinetron yang ada di setiap channel televisi.


Kampung Dukuh terletak di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet. Secara adat kampung ini dipimpin oleh Kuncen. Konon dulu kampung ini didirikan oleh Ki Candra Pamulang dari Cidamar, Cidaun, Cianjur Selatan yang kemudian setelah datangnya Syeh Abdul Jalil dari Sumedang, kampung ini diserahkan kepada Syeh Abdul Jalil. Syeh Abdul Jalil dulunya adalah seorang Penghulu Raja di Sumedang dan membuka sebuah pesantren di pinggiran Kota Sumedang. Kuncen yang memimpin sekarang ini adalah generasi yang ke-14 yaitu Ajengen Uluk Lukman Hakim yang lahir pada tanggal 10 September 1957. Kuncen dipangku secara turun temurun berdasarkan keturunan atau hubungan darah.


Kampung Dukuh terbagi menjadi dua. Dukuh Dalam dan Dukuh Luar. Yang memisahkan antar perkampungan ini hanya sebuah pagar bambu saja. Perbedaanya hanya pada aturan dan pola kehidupannya masyarakatnya. Di kampung luar sudah boleh ada listrik, warung, bangunan menggunakan semen dan beratap genteng, dll. Sementara di kampung dalam harus mengikuti aturan adat yang sudah ada. Penuh dengan kesederhanaan dan tradisional sunda.


Kampung Dukuh dalam terdapat 99 jiwa dan 30 KK. Sedangkan Dukuh Luar terdapat sekitar 307 jiwa dan 59 KK. Sebuah kampung yang cukup kecil sebenarnya. Luas kampung tesebut hanya sekitar 1,5 ha. Saya tidak tahu berapa luas lahan garapan dan berapa luas totalnya jika digabungkan dengan luas kampung mereka. Kampung Dukuh juga memliki hutan larangan (15 ha) yang tidak boleh dimasukin oleh siapaun juga kecuali untuk berdoa dan upacara adat. Di hutan larangan ini terdapat beberapa makam para tokoh yaitu Makam Syeh Abdul Jalil, Makam anaknya Syeh Abdul Jalil yaitu Hasan Husein, Makam Kuncen yang pertama dan beberapa makam pembantu syeh serta pembantu kuncen. Disana juga terdapat makam orang-orang dari Kampung Dukuh. Setiap hari sabtu banyak tamu yang datang ke kampung ini untuk berziarah. Mulai yang datang dari Jakarta, Bandung, Garut, Tasikmalaya dan kota-kota lainnya. Tapi uniknya PNS (Pegawai Negeri Sipil) dilarang masuk dan berziarah ke hutan larangan. Selain itu juga dilarang bagi yang non muslim.


Ketika saya berbicara dengan Kuncen, beliau sekarang ini berniat untuk menghijaukan kembalil Kampung Dukuh. Mengajak masyarakatnya menanam kembali lahan-lahan yang sudah gersang dan gundul akibat penebangan. Hanya beliau tidak ingin ada bantuan dari pemerintahan atau sebuah perusahaan perkebunan. Karena akan menambah masalah bagi beliau dan terkadang bantuan yang diharapkan tidak efektif.


Klo menurut saya niat Kuncen bukanlah hal yang mustahil bisa terwujud. Karena luas wilayah yang tidak begitu luas dan beliau bisa menggerakkan masyarakatnya. Tinggal bagaimana kita menyampaikan saja ke teman-teman lainnya apakah ada teman kita yang bisa bantu untuk mewujudkan mimpi Kuncen.


Saya membayangkan kampung yang kecil dan penuh kesederhanaan ini bisa rimbun, hijau, banyak pepopohan besar sehingga keasrian, kedamaian, kesejukan yang sudah ada di kampung ini bertambah dan berlipat-lipat. Masyarakatnya bisa menjaga hutannya kembali dan tingkat pendapatan meraka dari sumberdaya alam yang ada semakin baik. Perekonomian mereka semakin baik. Masyarakatnya semakin kompak dan tetap memegang teguh budaya dan adat mereka. Mereka bisa bangga dengan adat dan budaya yang mereka miliki, bukan ikut hanyut dan tenggelam karena derasnya budaya luar yang masuk ke kampung mereka.

Ahh betapa indah dan serasinya suatu kampung jika apa yang saya bayangkan bisa terwujud. Mimpi kuncen bisa terwujud. 10 Pepeling atau Nasehat Adat Sunda Parahiyangan ngolah lahan anu arif dan bijaksana. Lingkungan lestari bisa terwujud.


Berikut 10 Pepeling yang sudah turun temurun yang ada di budaya sunda.

1. Gunung – Kaian : Gunung-gunung ditanamin kayu-kayu atau pohon

2. Gawir – Awian : Sebuah lerengan ditanamin bambu

3. Cinyusu – Rumateun : Mata air untuk dirawat atau dijaga

4. Sempalan – Kebonan : Suatu daerah atau kawasan datar ditanamin untuk kebun

5. Pasir – Talunan : Bukit ditanamin pohon-pohon keras

6. Dataran – Sawahan : Daerah yang datar dijadikan sawah

7. Lebak – Caian : Daearah bawah harus diberi air

8. Legok – Balongan : Kalau lobang dijadikan kolam

9. Situ – pulasaraeun : Danau untuk dipelihara, dijaga dan dikelola

10. Lembur – Uruseun : Kampung untuk dikelola






Tuesday, March 3, 2009

Listrik Tenaga Air

Saya sangat senang sekali dalam melakukan perjalanan beberapa bulan belakangan ini (Desember 2008-Februari 2009). Mulai dari perjalanan ke Desa Sukamulya, Kecamatan Tanjung Raja, Lampung Utara. Ke Desa Pekandangan, Kecamatan Pubian, Lampung Tengah. Dan terakhir beberapa minggu yang lalu berkunjung ke Desa Cibuluh, Kecamatan Cidaun, Cianjur Selatan. Saya senang karena saya bisa melihat langsung bagaimana masyarakat desa bisa berinovasi dan kreatif dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Hemat dan Efisien.

Salah satu inovasi yang mereka lakukan adalah membuat energy listrik dari tenaga air atau yang lebih dikenal dengan Pembangkit Microhydro. Pembangkit listrik tenaga air ini mudah sekali membuatnya. Hanya membutuhkan aliran air yang stabil dan tidak kering disaat musim kemarau. Biaya yang dibutuhkan juga tidak terlalu mahal. Apalagi jika dibuat secara bersama-sama dan secara swadaya. Masyarakat tidak perlu lagi tergantung dengan Listrik dari PLN yang semakin lama semakin krisis keadaannya dan biaya pasang serta tagihannya juga sangat mahal.

Disini saya tidak mau membicarakan bagaimana cara membuat Listrik Mikrohydro ini. Karena saya tidak paham mengenai mekanisme detail cara membuatnya. Baik itu yang sederhana (terbuat dari kincir kayu) ataupun yang sudah menggunakan mesin turbin yang menghasilkan energy puluhan ribu watt. Jika ada yang beminat mempelajarinya secara detail silahkan berkunjung ke salah satu desa yang saya sebutkan tadi. Disini saya hanya akan menceritakan apa manfaat energy microhydro ini dari sisi ekonomi dan sisi ekologis dari pengalaman saya berkunjung ke tiga desa tersebut. Bagaimana masyarakat di tiga desa tersebut sudah sadar akan pentingnya kelesatarian hutan bagi desa mereka dan secara bersama-sama membangun desa. Sekarang masyarakat di tiga desa tersebut sudah kompak dalam menjaga kelestarian hutannya.

Desa Sukamulya

Saya berkunjung ke desa ini pada bulan Desember tahun lalu. Setelah pulang dari Bengkulu saya dan teman-teman dari Depatemen Kehutanan mampir ke desa ini. Niat kami kesini adalah untuk mendokumentasikan kegiatan Hutan Kemasyarakatan yang dilakukan oleh beberapa kelompok tani di Desa Sukamulya.

Desa Sukamulya cukup jauh lokasinya dari jalan raya (Lintas Sumatera). Untuk menuju kampunnya juga diperlukan mobil yang memiliki double garden. Karena jalan menuju desa masih jalan tanah dan berbatu. Apalagi ketika kami kesana musim hujan. Jalanan penuh lumpur dan membutuhkan waktu yang lama untuk sampai ke desa. Ditengah perjalanan mobil kami sempat slip dan tidak bisa melewati tanjakan yang berlumpur. Akhirnya harus menunggu bantuan mobil kampas yang ke empat rodanya sudah dililit rantai untuk menarik mobil-mobil kami. Di tengah malam yang gelap dan hujan kami masih bergelut dengan lumpur.

Keadaan desa Sumbermulya masih cukup asri. Dibelakan desa penuh dengan ladang-ladang kopi dan tanaman keras lainnya. Sesuai dengan ketentuan HKM yaitu menanam tanaman berkayu disela-sela tanaman lainnya, didesa ini sudah cukup banyak pohon-pohon keras yang ditanam. Mulai dari Mahoni, Kemiri, Durian, dan tanaman berkayu lainnya.

Sebelumnya seluruh masyarakat desa ini membuat ladang secara sembunyi-sembunyi diareal hutan lindung. Tapi sekarang setelah mendapat izin kelola selama 35 tahun dari Departemen Kehutanan, masyarakat desa sudah nyaman dan tidak takut lagi membuat ladang disana. Mereka juga sudah sadar, agar tetap diizinkan untuk bercocok tanam diladang mereka harus menjaga kondisi hutannya untuk tetap baik dan menanam tanaman berkayu disela-sela tanaman mereka.

Karena kondisi air sungainya cukup baik dan didesa ini tidak masuk listrik dari PLN. Masyarakat desa berinisiatif membuat kincir-kincir yang menghasilkan energy listrik untuk satu rumah. Karena sudah ada yang berhasil menghasilkan listrik dari aliran air sungai, beberapa masyarakat desa Sukamulya secara swadaya membeli mesin turbin yang cukup besar yaitu sekitar 5000 watt. Satu turbin 5000 watt bisa menerangi 10-15 rumah. Dan beberapa rumah juga bisa menonton televisi. Listrik selalu menyala selama 24 jam. Terkadang siang haripun dibiarkan menyala. Selagi air sungai ini tidak kering dan mesinnya tidak rusak, listrik akan selalu menyala.

Sekarang mereka sudah tidak perlu menunggu lagi kehadiran listrik masuk desa dari PLN. Sudah hampir lima tahun PLN yang lalu PLN berjanji untuk menerangi desa mereka. Tapi janji itu tidak pernah ditepati. Sekarang mereka sudah tidak peduli lagi dengan janji-janji PLN.

Karena merasakan langsung manfaat air sungai di desa mereka. Beberapa masyarakat di Desa Sukamulya sudah mulai menjaga agar debit air sungai tetap stabil. Tokoh-tokoh masyarakat dan ketua kelompok tani sudah mengajak anggotanya untuk memperhatikan kondisi hutan dan lingkungan desa. Mereka tidak ingin energy listrik dari pembangkit microhydro ini hilang ataupun rusak. Mereka juga tidak ingin izin kelola yang diberikan oleh pemerintah kepada warga dicabut karena tidak bisa mengelola lahan dan menjaga hutannya.

Desa Pekandangan

Ketika sampai disebuah desa yang lokasinya lumayan jauh dari Kota Metro ini, pemandangan dan hawa yang dirasakan sangat berbeda. Serasa berada di daerah Jawa Barat (di seputaran Halimun), bukan di Lampung. Lampung yang terkesan gersang dan panas. Tapi di desa ini, sangat sejuk, sawah menghampar disekeliling desa. Sumber air melimpah dan mengalir jernih.

Desa Pekandangan berada di hulu sungai, yaitu Way Seputih dan Way Sekampung. Masyarakat Desa Pekandangan hampir seluruhnya adalah para migran dari suku sunda dan jawa. Dulunya masyarakat ini adalah pekerja di sebuah perusahaan kayu. Namun sekarang perusahaan tersebut telah lama berhenti beroperasi.

Uniknya setelah mereka melakukan penebangan dan merambah hutan, sekarang mereka malah berbalik untuk menjaga hutannya. Kondisi kampong sudah hijau dan asri kembali.

Karena sumber airnya melipah dan belum ada akses listrik yang masuk ke kampung mereka, akhirnya mereka mempunyai inisiatif membangun listrik bertenaga air. Dimualai dari sebuah kincir sederhana yang terbuat dari kayu, akhirnya mereka membuat kincir yang permanent dari besi dan plat. Sungguh menarik dan membuat saya kagum atas inisiatif-inisiatif mereka. Kampung mereka tidak gelap lagi disaat malam tiba. Mereka bisa menikmati siaran televisi dan anak-anak belajar tidak lagi dengan sebuah lampu templok ataupun lilin.

Melalui organisasi masyarakat desa, mereka kini bersemangat untuk menjaga keadaan hutan yang ada dikampung mereka. Menjaga sumber air yang ada. Untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat desa, kini mereka mencoba meningkatkan pembudidayaan tanaman sengon (albasia) yang ada diladang-ladang masing-masing individu.

Desa Cibuluh, Gunung Simpang

Kampung yang lokasinya berada di Cianjur Selatan ini memang sedikit tersembunyi. Saya sendiri baru tahu ternyata di Jawa Barat masih ada sebuah desa yang sangat sulit dijangkau oleh kendaraan. Untuk menuju desa ini dibutuhkan kendaraan double gardan. Jalan yang barbatu dan sempit membuat sulit kendaraan menuju desa. Apalagi disaat saya dan teman-teman dari samdhana institute ingin melakukan kunjungan kesana, selama perjalanan dihari itu selalu hujan. Banyak tanah-tanah longsor disepanjang jalan.

Perjalanan menuju Desa Cibuluh sangat berkesan bagi saya. Baru pertama ini selama di Jawa Barat saya membawa mobil yang kondisi jalannya sedemikian rupa. Berbatu, tikungan yang sangat tajam dan disertai tanjakan-tanjakan yang membuat hati deg-degkan. Selama perjalanan juga banyak turunan yang curam dan kiri kanan jalan jurang. Tambah seru lagi karena perjalanan menuju desa tersebut malam hari. Kami tiba di Desa Cibuluh pada pukul dua dini hari.

Di desa ini saya kembali melihat pembangkit tenaga listrik dari air. Namun beberbeda dengan dua desa yang saya kunjungi seblumnya, di Desa Cibuluh ini mesin pembangkitnya sudah cukup besar yaitu berkapasitas 18000 watt, yang bisa menerangi sekitar 80 rumah dan sarana public seperti masjid dan balai desa. Dengan adanya bantuan hibah dari lembaga donor yang ada di Jakarta sekarang ini pembangkit listrik yang ada di Desa Cibulu sudah dikelola secara swadaya oleh masyarakat desa.

Cagar Alam Gunung Simpang merupakan kawasan hutan konservasi yang berbatasa langsung dengan Desa Cibuluh. Masyarakat yang ada di desa ini mulai dari yang tua sampai dengan yang muda sudah secara bersama-sama menjaga kondisi hutannya. Disaat saya berkunjung kesana, anak-anak sekolah madrasah yang ada di Desa Cibuluh sedang melakukan penanaman di kawasan hutan desa. Mereka ingin hutan yang ada di desa mereka tetap hijau dan bertambah rimbun. Sebuah lembaga desa yaitu Raksa Bumi menambah semangat dan keyakinan masyarakat untuk menjaga hutan yang ada di desa mereka.

Dengan melihat ketiga desa ini yang sudah memiliki pembangkit listrik tenaga air membuat saya bertambah yakin air adalah sebuah sumberdaya alam yang sangat penting bagi manusia dan tidak akan bisa dipisahkan dari kehidupan manusia di bumi ini. Masyarakat desa seharusnya tidak perlu menggantungkan hidupnya kepada PLN untuk mendapatkan listrik. Ada sebuah solusi yang lebih tepat, efisien, dan ramah lingkunga. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro solusinya.