Wednesday, February 8, 2012

Di Pulau Adonara Menyelamatkan Sumber Pangan Lokal


Banyak yang mengenal Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sebuah propinsi yang terkenal dengan tingginya angka kelaparan dan gizi buruk. Berita-berita tentang kasus ini sering kita dengar di berbagai media nasional. NTT juga dikenal sebuah kawasan yang kering dan memiliki curah hujan yang rendah.

Cerita berbeda akan kita dapatkan di sebuah pulau kecil di Flores Timur. Disaat pangan lokal mulai hilang. Di Pulau Adonara, seorang perempuan dayak kenayan bernama Maria Lorreta (43 tahun) yang tinggal di Dusun Waiotan, Desa Pajiniang mencoba menyelamatkan sumber-sumber pangan lokal. Berbagai jenis bibit sorgum lokal, padi hitam, jewawut, jelai, padi merah, jagung merah, jagung ungu, jagung pulut, wijen hitam, wijen coklat,dll ditanam di kebunnya. Semua tanaman lokal ini memiliki kandungan nutrisi dan bernilai ekonomi cukup tinggi, dimana produksinya semakin berkurang di indonesia, termasuk di NTT yang merupakan salah satu daerah penghasil utama pangan tersebut.

Dengan luas areal sekitar 30 hektar peninggalan keluarga suami yang tanamannya didominasi oleh tanaman kelapa dan kacang mete, Maria Lorreta bersama suami Jeremias D Letor (42 tahun) mencoba menyelamatkan sumber-sumber pangan lokal. Mulai tinggal di Flores Timur pada tahun 1999 dan memutuskan fokus bertani pada tahun 2005. Mereka menebang tanaman kelapa dan mete untuk digantikan dengan tanaman-tanaman sumber pangan lokal. Pada saat itu para keluarga suami dan warga sekitar tidak percaya mereka menebang kelapa dan kacang mete yang merupakan tanaman primadona bagi masyarakat Flores Timur.

Memulai dengan tanaman padi merah dan pepaya, sekarang kurang lebih seluas 3 hektar kebunnya sudah ditanami tanaman pangan lokal. Tanaman-tanaman ini ditanam bukan untuk dikomersialkan atau dijual disaat sudah panen, tetapi hanya untuk pembibitan dan sisanya dikonsumsi sendiri. Langkanya untuk memperoleh berbagai jenis bibit tanaman ini membuat Maria Lorreta ingin menyelamatkan berbagai jenis tanaman pangan khas Flores. “Saya jatuh cinta dengan sorgum atau watablolong gara-gara saya pernah disuguhi sepiring sorgum kukus ditaburi kelapa parut. Saya mencobanya dan ternyata enak sekali”. Saat itulah saya menanyakan bagaimana caranya bisa mendapatkan bibit sorgum. Ternyata bibit sorgum di Flores sudah langka dan sulit untuk didapatkan.

Maria Lorreta yang tinggal dirumah yang sangat sederhana ini mengajak masyarakat sekitar untuk ikut menanam sorgum. Lulusan fakultas hukum ini memberikan bibit gratis hasil kebunnya kepada petani agar ikut menanam tanaman-tanaman lokal. “Latar belakang saya membangun kebun bibit ini karena saya melihat akses petani untuk mendapatkan bibit susah, akses petani untuk ke pasar susah, dan keprihatinan saya terhadap benih-benih lokal yang semakin hilang. Daratan Flores 70% adalah lahan kering, tidak bisa mengandalkan beras daerah Flores” ungkap Maria Lorreta.

Tidak hanya mengembangkan tanaman pangan lokal sendiri di kebunnya. Maria Lorreta membentuk kelompok tani yang bernama Cinta Alam Pertanian juga mengajak petani-petani yang tersebar di Flores untuk kembali menanam tanaman pangan lokal. Kini Maria Lorreta sudah mendampingi 7 kelompok petani yang terdapat di Bab. Flores Timur, Ende, Manggarai Barat dan Nagekeo. Total luas lahan petani yang didampingi Maria Lorreta sudah mencapai kuarang lebih 11 ha. Penyadaran secara umum mengenai pelestarian pangan lokal alternatif terus dilakukan oleh Maria Lorreta.

Gabriel Demon (57 tahun) Ketua Gabungan Kelompok Tani Madabaipito yang tinggal di Desa Watowiti Kecamatan Ile Mandiri menyatakan bahwa petani di Flores Timur dulunya tanaman pangan lokal tetap berkesenambungan sejak dari zaman nenek moyang. Saat itu mereka tidak pernah merasakan kelaparan atau kekurangan sumber makanan seperti yang sering diberitakan. Tapi mulai tahun 70 an disaat masuknya tanaman-tanaman padi dan jagung yang penuh rekayasa genetika yang mempersingkat umur tanam disaat panen mudah diserang hama bubuk. “Klo dulu tanaman pangan lokal tidak. Didalam satu kebun kami tanam 5 macam jenis tanaman pangan lokal. Yang pertama padi jagung, kedua sorgum, ketiga jewawut yang kami tanam di sekeliling kebun. Dan terakhir kami tanam dela atau delay. Kami panen dan makannya bertahap. Pertama kami makan jewawut, yang kedua jagung, yang ketiga padi, yang keempat sorgum dan yang kelima dela. Ada lima sumber pangan didalam satu lahan tersebut. Jadi kami tidak pernah kelaparan” katanya.

Maria Lorreta yang saat ini masuk salah satu nominasi pemenang Kehati Award 2011 sangat berharap jika gizi dan nutrisi bayi dan anak-anak NTT bisa dipenuhi dengan pangan olahan lokal. Masyarakat NTT juga bisa memanfaatkan hasil olahan dari pangan lokal sebagai pangan alternatif untuk kue-kue anak sekolah dan juga cemilan yang dijual. Tidak lagi mengkonsumsi jajanan yang tidak bergizi dan terkadang mengandung bahan-bahan kimia yang membahayakan kesehatan sang anak.

Maria Lorreta telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati, khususnya spesies tanaman serelia, padi hitam dan padi merah yang jumlahnya semakin menurun di Indonesia, termasuk di NTT. Maria Lorreta juga sudah melakukan sebuah terobosan penting dalam menjaga ketahanan pangan di pulau-pulau kecil di NTT. (EN)
Tanaman sorgum lokal
Tanaman wijen lokal, jagung pulut dan padi hitam

Tanaman jagung lokal

Bibit sorgum, jagung lokal, jagung pulut, dan delay

Sajian nasi campur sorgum, ikan bakar, cumi goreng, sayur singkong dan sayur rumput laut

Pemandangan di depan rumah Maria Lorreta. Air tawar yang keluar deras dari bebatuan ketika air laut sedang surut





No comments:

Post a Comment